Art & Culture

Buku Kenduri Swara Tani Milik Rara Sekar Rekam Percakapan dengan Para Perawat Kehidupan

"Lagu-lagu cinta bukan saja milik manusia, kita pun dapat luluh lantak, mabuk kepayang pada pohon pisang. Menyentuh jantungnya dan bersiul bersamanya melihat senja merebak perlahan." - Saras Dewi

Written by
Vania Evan
Published
June 18, 2023

Apa hadiah terbaik yang dapat diberikan pembuat karya kepada mereka yang menikmati karyanya? Buat saya, jawabannya adalah kesempatan untuk mengintip isi benak sang pembuat karya–apa yang menginspirasi mereka dan bagaimana karya tersebut dapat menjadi kendaraan untuk menyampaikan pesan tertentu. 

Seperti diberi hadiah. Mungkin ini ungkapan yang paling mendeskripsikan perasaan saya ketika membuka buku Kenduri: Swara Tani yang dikeluarkan hara, moniker penyanyi solo Rara Sekar sebagai produk turunan dari album mini berjudul sama, Kenduri, yang rilis pada 2021. 

Selain mengantar empat tembang dalam mini album tersebut beserta dengan pesan yang disisipkan Rara di tiap-tiap lagu, buku ini merekam pembicaraan Rara dan suaminya, Ben, dengan mereka yang mengambil tapi juga memberi serta berguru pada alam. Kenduri: Swara Tani merangkum suara-suara dan cerita-cerita yang diwakilkan Rara dalam mini album Kenduri, soal mereka yang selama ini jadi tulang belakang penyedia pangan yang ada di meja makan kita tapi terancam diusir dari tanah mereka sendiri. 

Tampilan buku Kenduri: Swara Tani karya hara (kiri) serta ilustrasi di dalamnya (kanan)

Pembaca akan pertama dibawa singgah ke Sukabumi untuk bertemu petani muda yang tidak lahir dalam keluarga petani, juga tanpa kepemilikan lahan sama sekali. Dipa, begitu ia dipanggilnya, bercerita soal kemauannya yang kuat dalam mencari kehidupan lewat bertani setelah selesai menimba cabang ilmu Hubungan Internasional. Dipa banyak bercerita soal petani-petani muda seperti dirinya, bagaimana bertani menghidupi mereka yang juga tidak lepas dari berbagai macam tantangan, seperti beratnya menanggung biaya mengolah tanah serta keinginan pemerintah untuk membentuk korporasi tani yang dapat berbahaya bagi kelanjutan kehidupan bumi di masa depan.

Rara dan Ben kemudian singgah di pemberhentian kedua mereka di Purbalingga untuk menemui Kelompok Tani Porograpet, sebuah kolektif tani yang saling bergandengan tangan sebagai bentuk perlawanan. Bersama Ali, Abdul, dan Mukhlis, Rara dan Ben membicarakan soal pendefinisian ulang dari makna kerja dalam konteks kolektif kerja tani yang seringkali tidak bisa dikuantifikasi. 

Pemberhentian ketiga menyuguhkan cerita yang menyayat hati, soal perempuan-perempuan Rembang yang menolak pembangunan pabrik semen di tempat mereka tinggal tapi tidak digubris dan dimenangkan di atas kertas tapi berkebalikan di realita. Kasus Rembang menjadi kasus yang mengirim 9 perempuan Rembang atau yang sering disebut sebagai Kartini Kendeng ke depan Istana Negara untuk melakukan aksi protes yang menghebohkan warga Indonesia: mengecor kaki dengan semen.

Cerita-cerita miris tapi juga kisah romantis antara manusia yang hanya ingin tetap dekat dengan alam dalam buku ini ditutup dengan pertemuan Rara dan Ben dengan Omah Lor, ahli permakultur di Pakem. Sebagai yang menekuni cabang ilmu desain ekologis dan telah mengadakan kelas-kelas permakultur sejak 2015, Mba Dwi bercerita tentang kepekaan mereka yang bertani dan berkebun dengan alam bak peneliti (atau bahkan, dukun) lantaran sudah sangat terkoneksi dengan alam dan dapat memahami cara alam bekerja. 

Selain soal permakultur itu sendiri, pengalaman mengajar orang-orang kota untuk bertani juga dibagikan oleh Mba Dwi, misalnya anak-anak muda yang harus mengorbankan nilai pribadinya demi pekerjaan. Namun yang paling membekas, adalah pemaknaan ulang akan kata profit yang sering terlewat dari perhitungan kita dalam menakar untung-rugi. 

Keempat cerita di atas dikemas dalam bentuk percakapan untuk meminimalisir perubahan esensi dan ditemani dengan ilustrasi-ilustrasi oleh Sanggaré, unit usaha berbasis koperasi pekerja yang menaungi pekerja budaya atau kognitif. Juga tidak ketinggalan, lirik lagu-lagu yang ada di album Kenduri, lengkap dengan terjemahan Bahasa Inggris. 

Ulasan Saras Dewi mengenai album Kenduri serta tulisan Titah AW yang meyakini bahwa tumbuhan bisa mendengar walau tidak punya daun telinga melengkapi empat cerita perjalanan Rara dan Ben barusan dari perspektif penikmat karya. Buku Kenduri: Swara Tani dapat dibaca sambil mendengarkan mini album Kenduri untuk pengalaman yang lebih imersif. Lebih bagus lagi kalau dibaca sambil berada di sekitar pepohonan, membiarkan rambutmu ditiup angin serta sesekali mengistirahatkan mata dan melayangkan pandangan ke yang hijau-hijau.

Sesaat setelah kamu tenggelam di dalamnya, kemungkinannya ada dua. Antara kerinduan kita, orang-orang kota untuk lebih dekat dengan alam akan sedikit terobati, atau justru membuat kita ingin segera lari mendekat ke alam dan duduk diam berlama-lama dalam dekapannya. Kalau boleh kutambah jadi tiga, ada kemungkinan rasa tidak nyaman juga menyelinap perlahan, atau bahkan dalam skala yang lebih intens, kemarahan. Kemarahan akan sistem yang terus mengambil tanpa menanam kembali.

Apapun perasaan yang muncul ketika kamu membaca Kenduri: Swara Tani, mau itu salah satu atau ketiganya, semuanya penting untuk kita sambut kehadirannya. Kita sudah terlalu lama renggang dengan alam yang selama ini menopang kehidupan kita. Kalau terlalu susah bagi kita untuk pulang, setidaknya kita diingatkan secuil rasa tentang rumah dalam wujud yang berbeda-beda.